BLUES BUAT DIAN
Sambil berdehem. Menelan dahak.
“Roti keju”.
“Roti isi telur”.
“Coklat panas”.
“Tapi kacang rebusnya tidak ada…”
“Semua pesanan sudah saya sebutkan?”, pelayan seksi itu mencoba memastikan sambil tersenyum aneh.
Kedua orang yang ditanya itu cuma mengangguk.
Seorang pria. Seorang wanita. Duduk dengan takzim bersebrangan di sebuah meja sudut kafe. Meja nomor Sembilan. Mereka Cuma dipisahkan seonggok asbak metal. Masih memandang kearah daun jendela yang basah oleh hujan malam. Angka delapan sudah ditunjuk-tunjuk oleh jarum jam. Namun ruang itu masih tetap ramai. Konon tempat itu terkenal dengan coffelatte-nya, walaupun sekarang si pelayan menyajikan minuman itu dengan busa yang sangat minim. Hmm, Mungkin lebih tepat jika disebut Mochalatte. Ah, Whateverlah!
Sementara didepan sana. Diatas panggung kecil berlampu redup kuning. Duduk di bangku dengan lutut dilipat. Tangan kirinya memegang fret gitar listrik tua. Sementara tangan kanan masih mengusap-usap rambutnya yang basah. Mungkin dari Tancho murahan. Wajah kisut namun cukup berwibawa ketika mulai membawakan intro sebuah nomor dari W.C Handy, St. Louis Blues. Konon lagu ini merupakan tonggak dari eksistensi Blues di dunia.
“Sudah berapa lama?” Wanita itu mengulang pertanyaan yang sama dua menit yang lalu.
“Hampir 2 tahun…” Sahut pria didepannya yang berjaket corduroy itu.
“Masya Allah, kamu sampe sebegitunya..” Wanita itu dengan nada menggumam.
“Emang kenapa kamu suka melakukan ini?” Wanita itu masih bertanya. penasaran.
“Cuma mengikuti kata hati..” Sahut pria itu malu-malu.
“Sebentar saya sebut nama..” Wanita itu sambil menggamit lengan cangkir.
“John Mayall?” Jawaban pertama.
“Bukan..” Pria itu menjawab.
“B.B King?” Jawaban kedua.
“Hoaaahmm..” Pria itu menguap, pertanda masih bukan.
“Eric Clapton?” Jawaban ketiga.
“Bukan ah!” Pria itu menjawab ditambah sedikit senyuman.
“Kasih petunjuk dong..” wanita itu agak merengut. Sok kisrut.
“Hmm, dia mirip bajak laut, terus suka pake maskara”.
“Ahaha, saya tau, saya tau.., hmmpf, pasti Keith Richards!”.
Pria itu mengangguk. Dan wanita itu sumringah.
Berhasil menebak idola sang pria misterius yang baru dikenalnya satu jam yang lalu. Pria berjaket corduroy yang menurut wanita itu berhasil menarik dirinya kedalam tarikan medan magnet yang cukup kuat. Ke dalam lubang hitam nada-nada musik Blues! Karena kebetulan wanita itu sedang bersedih. Dan sedang sendirian.
Jari jemari berlekuk di kening yang sudah hampir seperempat abad. Cardigan kuning yang dikenakan sudah agak kusut karena terlalu sering dijawil demi pembenaran posisi duduk. Topi bertuliskan New York Knicks di kepala wanita. Dan sepotong senyuman menawan malu-malu di bibir si jaket corduroy. Pria dan wanita itu masih berusaha untuk membangun percakapan yang intens. Dengan perasaan masing-masing.
“Terus, terus?” Sahut wanita itu.
Sementara di panggung, petikan gitar sudah berganti menjadi jeritan nada-nada ciptaan Miles Davis. Tiupan saxophone itu memang seperti orang yang merintih. The sick sax. Seperti kesakitan.
“Tidak heran para musisi Blues menderita..” Gumam pemuda itu.
“Emang musik Blues itu sedih ya?” Tanya wanita itu lagi.
“Ngga juga, anggapan yang berkembang bahwa lirik blues adalah kesedihan merupakan kesalahpahaman”, Pria itu sambil berusaha mencari sigaret di saku belakang jaketnya. Gaya bahasa yang campur dengan bahasa resmi membuat agak geli.
“Hal ini memang dipengaruhi oleh penamaan jenis musik ini sendiri, berasal dari frasa melankolis “feeling blue” dan “having the blues”. Lanjutnya.
“Kenapa mesti pake dilagukan sih?” Wanita itu sedikit nyengir, sok heran dengan jawaban pria itu, tentunya dengan rasa ketertarikan yang semakin kuat.
“Bener kalo lirik Blues nyeritain seputar masalah yang dihadapi oleh penyanyi atau komposer yang membawakannya. Namun sebenarnya lirik Blues lebih sering memberikan semacam sugesti pencerahan masalah yang dihadapi”. Masih mantap.
“Contohnya lirik blues sering ngebantuin baik penyanyi dan pendengar untuk menanggulangi permasalahan kehidupan sehari-hari, mungkin masalah “Romantic Relationships”, atau seputar tempat kerja, rasisme, dan lainnya. Pada umumnya, lirik blues ditulis oleh orang pertama, sering mengenai perasaan yang dalam, dan karakter musiknya dipengaruhi langsung oleh emosi”. Panjang lebar.
“Ngga heran kalo musisi Blues nyanyi sampai merem melek gitu…” Dagu wanita itu bertelekan kedua tangannya. Dengan mata yang menelisik kearah pria diseberangnya.
“Tapi dangdut juga pake emosi..” Wanita itu tiba-tiba seolah mendapat ilham.
“Musik Rap juga…” Kembali tertegun.
“Haha, hmm, mungkin karena pemahaman Blues yang begitu sangat mengakar dan pengaruhnya sangat mendunia”. Sahut pemuda itu sambil mengusap mulutnya yang berbusa dari cangkir. Kemudian mengisap sigaret lagi. Pfuihh, nyamannya.
Wanita itu mendelik sekejap.
“Udah ah, saya ada keperluan..” Sahut pemuda itu.
“Saya mau pergi..” Tampaknya sudah mau beranjak.
“Eh, eh, sebentar saja, please?”, wanita itu memohon.
“Hm, baiklah..” Pemuda itu mengurungkan niatnya.
“Ngomong-ngomong kamu mau ngapain disini?” Pemuda sambil mencari definisi yang tepat bagi situasi yang aneh ini. Aneh karena tiba-tiba saja mereka dalam waktu satu jam menjadi sangat dekat.
“Menghindar dari orang-orang”, sahut wanita itu sambil melirik ke kanan ke kiri.
“Dari situasi sarkastik…” gumamnya.
“Njelimet sekali pokoknya..” Wanita itu melanjutkan gumaman.
Sementara di belakang panggung, ada orang hiruk pikuk menyiapkan sebuah pertunjukan demi wanita di meja nomor sembilan itu.
“Saya akan coba menyanyikan satu lagu saja”. Sahut pria cempreng berdasi ke penjaga panggung.
“Lagu Blues?”, sahut penjaga panggung itu.
“Bukan, akustik biasa, Lagu cinta top 40, ada masalah?” Pria berdasi itu dengan suara cemprengnya.
“Tidak, Cuma kemarin orang-orang pada mukulin yang bawain lagu kekasih gelap-nya Ungu Band”. Sahut si penjaga panggung dengan muka masam.
Pria berdasi nan cempereng yang hendak manggung itupun sontak menjadi ragu.
Sementara pria berjaket corduroy mengeluarkan secarik kertas. Sebuah puisi berlagu buat wanita bercardigan kuning itu akan disiapkan.
“Akan kubuatkan puisi buat kamu”, Sahut pria itu.
“Pilih satu kata..” Sambil merogoh pulpen pelayan yang tergeletak di meja.
“Hmm, bentar…, moonlight!”, wanita itu sambil menjentikkan jari.
“Awkay…” Pemuda itu dengan mantap. Tertegun sejenak.
My Beautiful Cosmic Mate
Stick in two
Smoking section begin
Stuck in too
Start to passion intimating
I`m used to my old epiphone
And I hope that you fool everyone
I`ll be okay
When you say “hai dear”
Sleep baby now
Under the moonlight shine
Oh you`re such a lovely legs
Can I give you a scrambled eggs
And you will be my desire
Oh can you see
I still believe
Oh youre my beautiful cosmic mate today …
“Udah selesai, nih, buat kamu”, Sahut Pria Corduroy itu.
Wanita itu cuma menganga. Membaca sebentar. Kemudian mulutnya ditutup. Menahan tawa. Tidak menyangka bahwa dia akan dibuatkan sebuah lirik dengan sekejap. Kemudian dengan mata berbinar menatap sang pemuda.
“Makasih, bagus banget..” Sahut wanita itu sambil menutup mulutnya.
“Sama-sama..”, pemuda itu sambil berlagak malu-malu.
“Maaf kalau Inggrisnya banyak yang ngaco, grammarnya tuh..”, dia mencoba mencoba bersikap low profile.
“Ngomong-ngomong, nama lengkap kamu tuh siapa?”, tanya si pemuda sambil membenarkan jaketnya yang agak melorot.
“Paramita Dian SastroMardoyo”, Sahut wanita itu dengan senyuman yang belum lepas dari wajahnya.
“Panggil aja Dian”, sejurus kemudian mengeluarkan nama kecil.
“Nama yang bagus..” Gumam pemuda itu.
“Saya Johnny…”, masih balasan si pemuda.
“Seperti Johnny Walker?”, tanya Dian.
“Atau Johhny Hoffa?”, Masih merengut.
Johnny Cuma mengangguk sambil tersenyum.
Tiba-tiba, dari pintu depan muncul seorang perlente. Celingak-celinguk tampaknya mencari seseorang. Agak lama. Demi melihat orang itu, Dian menjadi gelagapan. Mencoba menutup wajah. Suasana hati membuat ekspresi tidak enak. Tiba-tiba saja mata si perlente tertumbuk pada sosok di sebelah pria berjaket corduroy itu. Merasa yakin, segera menghampiri dengan langkah yang mantap.
“Hai, disini kamu rupanya”, sahut pria perlente itu.
“Dian sayang, gimana kabarmu? Jadi ngga kita pergi?” Si pria perlente petantang petenteng sambil sibuk mematikan dering telepon selularnya.
Si pemegang gitar bersuara cempreng yang sedari tadi sudah siap-siap menunggu giliran, jadi termangu. Terkejut ketika pria perlente itu menyapa Dian. Entah apa yang ada di benaknya sekarang. Sambil mendengus. Menyeruak dari atas panggung.
“Hei! Aku udah nunggu di panggung dari tadi, ngapain kamu ngajak-ngajak dia?” Teriak si pemain gitar bersuara cempreng, tanpa mengindahkan para pengunjung yang terhenyak dan penjaga panggung yang sedari tadi melotot tidak karuan.
Di pojok sana. Tiba-tiba kasir yang sedari tadi berlagak termangu menanti bayaran pengunjung ikut-ikutan juga berteriak.
“Hei, hei, kalian-kalian tidak tau malu, pada mau ngapain?”, teriaknya sambil memegang botol wine dan lap meja.
“Aku yang penggemar setia Dian!”, Teriak sang kasir sambil menyarungkan lap mejanya.
Ketiga orang penggemar itu sejurus kemudian saling bertatapan masing-masing. Menelisik ke sekujur tubuh. Mencari kelemahan.
“Penggemar setia? Penggemar dari Hongkong hah?”, sahut si pria perlente. Dia sudah siap memasang kuda-kuda.
“Kalian ngga percaya? Liat ini!”. Sahut sang kasir sambil menyibakan kemejanya.
Whuss! Dalam sekejap. Kasir itu membuka bajunya, tampak di kaos tertulis: Ada Apa Dengan Cerita, kaos orisinil AADCret! Seketika ruangan kafe yang kecil itu menjadi gaduh riuh. Para pengunjung kafe saling berbisik-bisik. Ada yang tertawa. Ada yang tegang. Adapula yang masa bodoh. Karena tiba-tiba beberapa orang membuka kedoknya sebagai penggemar Dian SastroMardoyo. Seorang bintang film sekaligus bintang iklan sabun yang menakjubkan.
Mereka tidak menyangka. Wanita itu yang selama ini duduk disitu, yang memakai Cardigan kuning, yang memakai topi New York Knicks adalah Dian SastroMardoyo.
Artis yang mencoba menjadi orang biasa untuk semalam saja. Tiba-tiba.
Plakk!
“ Hentikaaaaan!”
Dian menampar mantan kekasihnya yang possesif. Pria yang ditampar itu perlahan-lahan mulai mundur. Memegang pipinya. Meringis.
“Dian…” Tiba-tiba dari belakang sang kasir menjawil pundaknya.
“Kyaaaaa!” Dian kaget setengah mati.
“Enyah kamu!” Sambil mengibaskan tangan kanannya.
Yang menjawil ikut kaget. Tidak menyangka reaksi Dian akan sedemikian hebatnya.
“Kalian semua palsu!”
“Fake Bastard!!”. Dian mulai menyerapah dalam bahasa asing. Lafal Inggrisnya terdengar lebih fasih ketimbang bintang sinetron Cinta Laura.
“Saya bukan bukan orang yang pantas kalian puja-puji”, masih kalut.
“Saya cuma komoditi, ngarti kalian?”, demi melihat mimik Dian yang sudah memerah karena kemarahan yang memuncak.
“Astaghfirullah, yang kalian liat di televise, di iklan-iklan itu Cuma pemalsuan, dan kalian sekaligus adalah pemujanya!”, masih berkacak pinggang.
“Saya kesini Cuma pengen denger Blues dan sedikit minum kopi..” Dian sambil melirik Johnny. Yang dilirik ikut tertunduk.
“Bukan dikuntit macam buronan sama kalian!”
Para penguntit Dian SastroMardoyo yang semuanya hadir disitu cuma melongo. Sebagian Melengos. Sebagian menahan nafas. Sebagian menangis. Karena baru mengupas bawang.
---
Besoknya, satu minggu, satu bulan, dua bulan, Dian SastroMardoyo, aktris yang terkenal itu, sang bintang iklan sabun, sang bintang AADCret! tidak pernah lagi ditemukan. Sontak saja dunia industri hiburan menjadi kalang kabut. Karena mereka kehilangan salah satu komoditinya yang paling berharga.
Beredarnya segudang tabloid gossip baik yang murahan maupun yang sedang-sedang saja, tidak banyak membantu memberitahu dimana keberadaan Dian. Dari mulai Haram Punjadi, Big Boss sinetron kelas kacang kapri negeri ini yang seperti biasanya memanfaatkan situasi, akhirnya membuat sebuah film yang berjudul, “Buruan Cari Dian”. Rudy Sudewo yang menyesal karena belum menyelesaikan proyek film “Ada Apa Dengan Cerita” atau AADCret bagian kedua. Sehingga Nicholas Sapuraga, lawan main Dian terdahulu, si mata elang, akhirnya terpaksa diceritakan menjadi pengajar sastra di Negara Zimbabwe.
Apa? Johnny? Oh iya.
Dan di pojok sana. Di kafe itu, malam-malam, Johnny masih berlatih bermain Blues buat minggu ini. Demi seseorang. Dengan tulus sedang menulis lagu. Tertulis judul di lagu yang belum selesai:“Blues Buat Dian”. Sedikit memainkan intro.
“I`m feelin` blue, what I`m supposed to do, cause I`m still waiting for her..”
Dian Cuma tersenyum. Di kejauhan.
“Roti isi telur”.
“Coklat panas”.
“Tapi kacang rebusnya tidak ada…”
“Semua pesanan sudah saya sebutkan?”, pelayan seksi itu mencoba memastikan sambil tersenyum aneh.
Kedua orang yang ditanya itu cuma mengangguk.
Seorang pria. Seorang wanita. Duduk dengan takzim bersebrangan di sebuah meja sudut kafe. Meja nomor Sembilan. Mereka Cuma dipisahkan seonggok asbak metal. Masih memandang kearah daun jendela yang basah oleh hujan malam. Angka delapan sudah ditunjuk-tunjuk oleh jarum jam. Namun ruang itu masih tetap ramai. Konon tempat itu terkenal dengan coffelatte-nya, walaupun sekarang si pelayan menyajikan minuman itu dengan busa yang sangat minim. Hmm, Mungkin lebih tepat jika disebut Mochalatte. Ah, Whateverlah!
Sementara didepan sana. Diatas panggung kecil berlampu redup kuning. Duduk di bangku dengan lutut dilipat. Tangan kirinya memegang fret gitar listrik tua. Sementara tangan kanan masih mengusap-usap rambutnya yang basah. Mungkin dari Tancho murahan. Wajah kisut namun cukup berwibawa ketika mulai membawakan intro sebuah nomor dari W.C Handy, St. Louis Blues. Konon lagu ini merupakan tonggak dari eksistensi Blues di dunia.
“Sudah berapa lama?” Wanita itu mengulang pertanyaan yang sama dua menit yang lalu.
“Hampir 2 tahun…” Sahut pria didepannya yang berjaket corduroy itu.
“Masya Allah, kamu sampe sebegitunya..” Wanita itu dengan nada menggumam.
“Emang kenapa kamu suka melakukan ini?” Wanita itu masih bertanya. penasaran.
“Cuma mengikuti kata hati..” Sahut pria itu malu-malu.
“Sebentar saya sebut nama..” Wanita itu sambil menggamit lengan cangkir.
“John Mayall?” Jawaban pertama.
“Bukan..” Pria itu menjawab.
“B.B King?” Jawaban kedua.
“Hoaaahmm..” Pria itu menguap, pertanda masih bukan.
“Eric Clapton?” Jawaban ketiga.
“Bukan ah!” Pria itu menjawab ditambah sedikit senyuman.
“Kasih petunjuk dong..” wanita itu agak merengut. Sok kisrut.
“Hmm, dia mirip bajak laut, terus suka pake maskara”.
“Ahaha, saya tau, saya tau.., hmmpf, pasti Keith Richards!”.
Pria itu mengangguk. Dan wanita itu sumringah.
Berhasil menebak idola sang pria misterius yang baru dikenalnya satu jam yang lalu. Pria berjaket corduroy yang menurut wanita itu berhasil menarik dirinya kedalam tarikan medan magnet yang cukup kuat. Ke dalam lubang hitam nada-nada musik Blues! Karena kebetulan wanita itu sedang bersedih. Dan sedang sendirian.
Jari jemari berlekuk di kening yang sudah hampir seperempat abad. Cardigan kuning yang dikenakan sudah agak kusut karena terlalu sering dijawil demi pembenaran posisi duduk. Topi bertuliskan New York Knicks di kepala wanita. Dan sepotong senyuman menawan malu-malu di bibir si jaket corduroy. Pria dan wanita itu masih berusaha untuk membangun percakapan yang intens. Dengan perasaan masing-masing.
“Terus, terus?” Sahut wanita itu.
Sementara di panggung, petikan gitar sudah berganti menjadi jeritan nada-nada ciptaan Miles Davis. Tiupan saxophone itu memang seperti orang yang merintih. The sick sax. Seperti kesakitan.
“Tidak heran para musisi Blues menderita..” Gumam pemuda itu.
“Emang musik Blues itu sedih ya?” Tanya wanita itu lagi.
“Ngga juga, anggapan yang berkembang bahwa lirik blues adalah kesedihan merupakan kesalahpahaman”, Pria itu sambil berusaha mencari sigaret di saku belakang jaketnya. Gaya bahasa yang campur dengan bahasa resmi membuat agak geli.
“Hal ini memang dipengaruhi oleh penamaan jenis musik ini sendiri, berasal dari frasa melankolis “feeling blue” dan “having the blues”. Lanjutnya.
“Kenapa mesti pake dilagukan sih?” Wanita itu sedikit nyengir, sok heran dengan jawaban pria itu, tentunya dengan rasa ketertarikan yang semakin kuat.
“Bener kalo lirik Blues nyeritain seputar masalah yang dihadapi oleh penyanyi atau komposer yang membawakannya. Namun sebenarnya lirik Blues lebih sering memberikan semacam sugesti pencerahan masalah yang dihadapi”. Masih mantap.
“Contohnya lirik blues sering ngebantuin baik penyanyi dan pendengar untuk menanggulangi permasalahan kehidupan sehari-hari, mungkin masalah “Romantic Relationships”, atau seputar tempat kerja, rasisme, dan lainnya. Pada umumnya, lirik blues ditulis oleh orang pertama, sering mengenai perasaan yang dalam, dan karakter musiknya dipengaruhi langsung oleh emosi”. Panjang lebar.
“Ngga heran kalo musisi Blues nyanyi sampai merem melek gitu…” Dagu wanita itu bertelekan kedua tangannya. Dengan mata yang menelisik kearah pria diseberangnya.
“Tapi dangdut juga pake emosi..” Wanita itu tiba-tiba seolah mendapat ilham.
“Musik Rap juga…” Kembali tertegun.
“Haha, hmm, mungkin karena pemahaman Blues yang begitu sangat mengakar dan pengaruhnya sangat mendunia”. Sahut pemuda itu sambil mengusap mulutnya yang berbusa dari cangkir. Kemudian mengisap sigaret lagi. Pfuihh, nyamannya.
Wanita itu mendelik sekejap.
“Udah ah, saya ada keperluan..” Sahut pemuda itu.
“Saya mau pergi..” Tampaknya sudah mau beranjak.
“Eh, eh, sebentar saja, please?”, wanita itu memohon.
“Hm, baiklah..” Pemuda itu mengurungkan niatnya.
“Ngomong-ngomong kamu mau ngapain disini?” Pemuda sambil mencari definisi yang tepat bagi situasi yang aneh ini. Aneh karena tiba-tiba saja mereka dalam waktu satu jam menjadi sangat dekat.
“Menghindar dari orang-orang”, sahut wanita itu sambil melirik ke kanan ke kiri.
“Dari situasi sarkastik…” gumamnya.
“Njelimet sekali pokoknya..” Wanita itu melanjutkan gumaman.
Sementara di belakang panggung, ada orang hiruk pikuk menyiapkan sebuah pertunjukan demi wanita di meja nomor sembilan itu.
“Saya akan coba menyanyikan satu lagu saja”. Sahut pria cempreng berdasi ke penjaga panggung.
“Lagu Blues?”, sahut penjaga panggung itu.
“Bukan, akustik biasa, Lagu cinta top 40, ada masalah?” Pria berdasi itu dengan suara cemprengnya.
“Tidak, Cuma kemarin orang-orang pada mukulin yang bawain lagu kekasih gelap-nya Ungu Band”. Sahut si penjaga panggung dengan muka masam.
Pria berdasi nan cempereng yang hendak manggung itupun sontak menjadi ragu.
Sementara pria berjaket corduroy mengeluarkan secarik kertas. Sebuah puisi berlagu buat wanita bercardigan kuning itu akan disiapkan.
“Akan kubuatkan puisi buat kamu”, Sahut pria itu.
“Pilih satu kata..” Sambil merogoh pulpen pelayan yang tergeletak di meja.
“Hmm, bentar…, moonlight!”, wanita itu sambil menjentikkan jari.
“Awkay…” Pemuda itu dengan mantap. Tertegun sejenak.
My Beautiful Cosmic Mate
Stick in two
Smoking section begin
Stuck in too
Start to passion intimating
I`m used to my old epiphone
And I hope that you fool everyone
I`ll be okay
When you say “hai dear”
Sleep baby now
Under the moonlight shine
Oh you`re such a lovely legs
Can I give you a scrambled eggs
And you will be my desire
Oh can you see
I still believe
Oh youre my beautiful cosmic mate today …
“Udah selesai, nih, buat kamu”, Sahut Pria Corduroy itu.
Wanita itu cuma menganga. Membaca sebentar. Kemudian mulutnya ditutup. Menahan tawa. Tidak menyangka bahwa dia akan dibuatkan sebuah lirik dengan sekejap. Kemudian dengan mata berbinar menatap sang pemuda.
“Makasih, bagus banget..” Sahut wanita itu sambil menutup mulutnya.
“Sama-sama..”, pemuda itu sambil berlagak malu-malu.
“Maaf kalau Inggrisnya banyak yang ngaco, grammarnya tuh..”, dia mencoba mencoba bersikap low profile.
“Ngomong-ngomong, nama lengkap kamu tuh siapa?”, tanya si pemuda sambil membenarkan jaketnya yang agak melorot.
“Paramita Dian SastroMardoyo”, Sahut wanita itu dengan senyuman yang belum lepas dari wajahnya.
“Panggil aja Dian”, sejurus kemudian mengeluarkan nama kecil.
“Nama yang bagus..” Gumam pemuda itu.
“Saya Johnny…”, masih balasan si pemuda.
“Seperti Johnny Walker?”, tanya Dian.
“Atau Johhny Hoffa?”, Masih merengut.
Johnny Cuma mengangguk sambil tersenyum.
Tiba-tiba, dari pintu depan muncul seorang perlente. Celingak-celinguk tampaknya mencari seseorang. Agak lama. Demi melihat orang itu, Dian menjadi gelagapan. Mencoba menutup wajah. Suasana hati membuat ekspresi tidak enak. Tiba-tiba saja mata si perlente tertumbuk pada sosok di sebelah pria berjaket corduroy itu. Merasa yakin, segera menghampiri dengan langkah yang mantap.
“Hai, disini kamu rupanya”, sahut pria perlente itu.
“Dian sayang, gimana kabarmu? Jadi ngga kita pergi?” Si pria perlente petantang petenteng sambil sibuk mematikan dering telepon selularnya.
Si pemegang gitar bersuara cempreng yang sedari tadi sudah siap-siap menunggu giliran, jadi termangu. Terkejut ketika pria perlente itu menyapa Dian. Entah apa yang ada di benaknya sekarang. Sambil mendengus. Menyeruak dari atas panggung.
“Hei! Aku udah nunggu di panggung dari tadi, ngapain kamu ngajak-ngajak dia?” Teriak si pemain gitar bersuara cempreng, tanpa mengindahkan para pengunjung yang terhenyak dan penjaga panggung yang sedari tadi melotot tidak karuan.
Di pojok sana. Tiba-tiba kasir yang sedari tadi berlagak termangu menanti bayaran pengunjung ikut-ikutan juga berteriak.
“Hei, hei, kalian-kalian tidak tau malu, pada mau ngapain?”, teriaknya sambil memegang botol wine dan lap meja.
“Aku yang penggemar setia Dian!”, Teriak sang kasir sambil menyarungkan lap mejanya.
Ketiga orang penggemar itu sejurus kemudian saling bertatapan masing-masing. Menelisik ke sekujur tubuh. Mencari kelemahan.
“Penggemar setia? Penggemar dari Hongkong hah?”, sahut si pria perlente. Dia sudah siap memasang kuda-kuda.
“Kalian ngga percaya? Liat ini!”. Sahut sang kasir sambil menyibakan kemejanya.
Whuss! Dalam sekejap. Kasir itu membuka bajunya, tampak di kaos tertulis: Ada Apa Dengan Cerita, kaos orisinil AADCret! Seketika ruangan kafe yang kecil itu menjadi gaduh riuh. Para pengunjung kafe saling berbisik-bisik. Ada yang tertawa. Ada yang tegang. Adapula yang masa bodoh. Karena tiba-tiba beberapa orang membuka kedoknya sebagai penggemar Dian SastroMardoyo. Seorang bintang film sekaligus bintang iklan sabun yang menakjubkan.
Mereka tidak menyangka. Wanita itu yang selama ini duduk disitu, yang memakai Cardigan kuning, yang memakai topi New York Knicks adalah Dian SastroMardoyo.
Artis yang mencoba menjadi orang biasa untuk semalam saja. Tiba-tiba.
Plakk!
“ Hentikaaaaan!”
Dian menampar mantan kekasihnya yang possesif. Pria yang ditampar itu perlahan-lahan mulai mundur. Memegang pipinya. Meringis.
“Dian…” Tiba-tiba dari belakang sang kasir menjawil pundaknya.
“Kyaaaaa!” Dian kaget setengah mati.
“Enyah kamu!” Sambil mengibaskan tangan kanannya.
Yang menjawil ikut kaget. Tidak menyangka reaksi Dian akan sedemikian hebatnya.
“Kalian semua palsu!”
“Fake Bastard!!”. Dian mulai menyerapah dalam bahasa asing. Lafal Inggrisnya terdengar lebih fasih ketimbang bintang sinetron Cinta Laura.
“Saya bukan bukan orang yang pantas kalian puja-puji”, masih kalut.
“Saya cuma komoditi, ngarti kalian?”, demi melihat mimik Dian yang sudah memerah karena kemarahan yang memuncak.
“Astaghfirullah, yang kalian liat di televise, di iklan-iklan itu Cuma pemalsuan, dan kalian sekaligus adalah pemujanya!”, masih berkacak pinggang.
“Saya kesini Cuma pengen denger Blues dan sedikit minum kopi..” Dian sambil melirik Johnny. Yang dilirik ikut tertunduk.
“Bukan dikuntit macam buronan sama kalian!”
Para penguntit Dian SastroMardoyo yang semuanya hadir disitu cuma melongo. Sebagian Melengos. Sebagian menahan nafas. Sebagian menangis. Karena baru mengupas bawang.
---
Besoknya, satu minggu, satu bulan, dua bulan, Dian SastroMardoyo, aktris yang terkenal itu, sang bintang iklan sabun, sang bintang AADCret! tidak pernah lagi ditemukan. Sontak saja dunia industri hiburan menjadi kalang kabut. Karena mereka kehilangan salah satu komoditinya yang paling berharga.
Beredarnya segudang tabloid gossip baik yang murahan maupun yang sedang-sedang saja, tidak banyak membantu memberitahu dimana keberadaan Dian. Dari mulai Haram Punjadi, Big Boss sinetron kelas kacang kapri negeri ini yang seperti biasanya memanfaatkan situasi, akhirnya membuat sebuah film yang berjudul, “Buruan Cari Dian”. Rudy Sudewo yang menyesal karena belum menyelesaikan proyek film “Ada Apa Dengan Cerita” atau AADCret bagian kedua. Sehingga Nicholas Sapuraga, lawan main Dian terdahulu, si mata elang, akhirnya terpaksa diceritakan menjadi pengajar sastra di Negara Zimbabwe.
Apa? Johnny? Oh iya.
Dan di pojok sana. Di kafe itu, malam-malam, Johnny masih berlatih bermain Blues buat minggu ini. Demi seseorang. Dengan tulus sedang menulis lagu. Tertulis judul di lagu yang belum selesai:“Blues Buat Dian”. Sedikit memainkan intro.
“I`m feelin` blue, what I`m supposed to do, cause I`m still waiting for her..”
Dian Cuma tersenyum. Di kejauhan.
Komentar
Posting Komentar