MENU PILIHAN
Ada noda merah di atas taplak-taplak meja.
Cipratan saus dan mayonaise. The Killing Fields, ladang pembantaian untuk para menu terpilih. Malam itu di sebuah meja warung makan yang terletak di bilangan Dago, memang terlihat gaduh. Di atas piring ada sisa potongan kentang, daging cincang, irisan mentimun dan saus. Di sebelahnya ada setangkep roti sisa gigitan terakhir. Agak maju di ujung meja yang lain terdapat dua gelas capuccino, isinya tinggal seperempat bagian. Rupanya mereka sudah ditinggalkan. Ada yang piringnya tandas, ada yang tinggal menyisakan tulang-tulang.
Tapi di ruang agak ke belakang, sebelah kiri, yang berpintu merah disitu, rupanya masih terdapat kehidupan. Para calon menu. Di tengah ada seonggok daging tergantung. Di rak pojok atas ada sayur-sayuran. Sekumpulan kentang di rak tengah berusaha membuka percakapan.
”Porky, sst..hei, kamu tidak apa-apa?” Tanya kentang kepada temannya si daging babi yang tergantung di atas kaitan.
”Apa saya kelihatan baik-baik saja?” Kata si daging babi tampak kisut dan merana. Soalnya dia digantung dengan pengait yang cukup kencang, sambil bersusah payah membetulkan badannya yang sebagian terbungkus plastik.
”Cuma..aww!!” Tiba-tiba daging babi menjerit.
Rupanya kaitan besi itu semakin mengganggu pergerakannya.
Agak di pojok rak atas. Ada lobak dan mentimun. Mereka berdua sedang bergosip juga.
”Eh, ada apa dengan si kentang?” Tanya lobak, sambil melihat ke rak di bawahnya.
”Kemarin dia kelihatan grasa-grusu begitu..” Lanjut si lobak.
”Dia kecewa, karena kemarin geng kentang jadi cuma jadi appetizer, kesannya murahan begitu..” Sahut mentimun yang memang tampaknya tahu segala hal.
”Soalnya kualitas kentang sekarang menurun, terlalu banyak pestisida” Si Timun melanjutkan sambil agak bergoyang sedikit, karena dia baru keluar dari kulkas. Mencoba menghangatkan diri.
”Ngomong-ngomong, tomat di rak sebelah kanan itu kok pendiam sekali ...” Rupanya si cabe keriting berusaha menimbrung pembicaraan.
”Sayang, padahal dia mirip Ringgo Agus Rahman kalo ditambah kacamata, tembem-lucu gitulah..” Lanjut si cabe.
”Ringgo? Siapa itu? Sayuran baru?” Sahut lobak.
”Bukan, dia artis, mukanya mirip-mirip tomat cangkokan, bengkak tapi lucu..”
Ahahaha. Semua tertawa. Kecuali si kubis yang baru patah hati.
”Oia, bagaimana kabar si Hamlet?” Porky menanyakan calon omelet yang terkenal ganteng.
”Sst.., Hamlet Omelet? dia sudah dibawa Tuan Polkadot..” Sahut kentang agak berbisik. Sambil menyebut seorang koki yang berkuasa di ruang sebelah. Dia disebut tuan Polkadot karena sarung tangannya yang terkenal bermotif begitu.
Kenapa si Hamlet disebut ganteng? Karena telur yang terkenal itu direbus. Jadi, dia selalu tampil kelimis. Beda dengan Porky yang hitam legam. Atau telur mata sapi yang bentuknya tidak karuan.
”Penampilan itu selalu yang utama, ya..” Lanjut Mentimun.
”Iyalah, penampilan juga menentukan status...” Sahut cabe keriting.
”Iya, status, soal siapa yang paling besar atau kecil..” Kubis mencoba eksis.
”Memangnya sayur apa sih yang paling besar?” Tanya terong yang terkenal jayus, dia ingin ikut mengobrol juga rupanya.
Suasana menjadi hening, sekeliling tidak ada yang bisa menjawab.
”Pasti Dinosayurus ya..?” Lanjut terong ”benar-benar” jayus. Mencoba melucu. Suasana menjadi hening kembali, namun dengan suasana yang berbeda, ada yang menggelengkan kepala (kecuali lobak yang tidak mempunyai leher) ada yang tertawa-tawa kecil, terutama si cabe keriting.
Sementara lamat-lamat di panggung, seorang gitaris dengan tangan kidalnya berusaha memainkan in sentimental journey-nya Miles Davis. Suara jazzy yang catchy itu terdengar sampai ruang penyimpanan makanan.
Para calon anggota menu di warung makan ”Bluesy” seringkali bergosip. Mengenai menu yang sedang populer saat ini. Atau menu yang paling tidak laku. Atau siapa bertemu siapa. Atau siapa memakan siapa.
”Eh, bagaimana kabar si geng madu?”
”Mereka bikin grup band, namanya The BeeTle, “Bee in the bottle,” namanya lucu ya? Katanya sudah mulai selesai satu album..” Sahut Mentimun.
“Eh-eh, liat tuh si anak baru, kiriman dari pasar, masih malu-malu dia..”
“New Pigs On The Block” Si kentang agak menggumam, sambil tersenyum. Sambil melihat sekarung daging babi yang masih teronggok di lantai.
”Kata orang sih babi itu sebenarnya cerdas.....” Sahut Mentimun.
”Tapi beda dengan mereka, kalau kita sih, tingkatannya lebih eksklusif.” Sahut daging sapi di rak bawah. Dia terkenal pongah. ”Songong” kalau menurut bahasa manusia. Rupanya dia ingin ikut menimbrung juga.
”Yaa, mending kita-kita ini dong, makanan buat proletar* sampai borjuis**, dari gorengan sampai Spaghetti Carbonara***..” Sahut si tomat kriwil. dia memang terkenal sebagai bahan saus yang populer.
”Apalagi dengan si Hottie and The Blowfish” Sambil menyebut sebuah geng hotdog dari gerai makanan cepat saji ternama.
”Ternyata manusia itu aneh..” Sahut mentimun.
”Kenapa aneh?” Tanya si cabe keriting.
”Karena manusia itu sangat percaya dengan penampilan” Lanjut mentimun.
”Iya, seeing dulu baru believing...” Komentar Lobak.
”Padahal siapa yang tahu sih soal kandungan nutrisi atau isi otak?” Tomat kriwil menimpali.
”Kecuali kalau sudah mencicipi...” Kata si cabe keriting.
”Hus! Pikiran kamu jorok, ih...” Tomat kriwil sambil menutup mulutnya.
”Nah, itu dia, cara memakannya pun beda ... ” Sahut mentimun.
”Beda dengan spaghetti, dia dimakan buat suasana in a mellow tone- lah...”
“Beda dengan kentang goreng, mereka tuh ”same-same”, satu meja rame-rame..” Lanjut terong jayus.
”Ahahahaha....” Semua tertawa renyah.
Begitulah, masing-masing calon menu saling bergosip satu sama lain.
Namun tiba-tiba lima detik kemudian semua menjadi diam. Cabe keriting yang biasanya bawel tidak berkutik. Si terong jayus jadi tidak bisa melucu. Apalagi si kubis dia cuma bisa meringis. Tampaknya Tuan Polkadot akan memilih bahan yang akan dibawa ke ruang ”kamu tidak ingin tahu buat apa ruang ini.”
Ruang ”kamu tidak ingin tahu buat apa ruang ini,”. Ruang apa itu? Yaitu, sebuah ruangan yang membuat para calon menu merinding. Ruang dimana para koki sudah mengasah pisau mereka masing-masing. Kemudian mencincang, memotong rapi, atau mengiris kecil-kecil tubuh-tubuh mereka buat santapan lambung-lambung para tamu yang menanti di ruang depan.
Tanpa ampun. Koki itu menyiapkan pisaunya. Wajahnya penuh dengan keyakinan karena dia adalah koki yang berpengalaman. Tangannya yang terlatih tampaknya mencari-cari sesuatu, akhirnya matanya teronggok pada sesosok bulatan kecil-kecil di rak paling atas.
Si kentang kecil hanya berteriak ketika tangan Tuan Polkadot meraihnya.
”Tidaaaakk...” Teriak si kentang kecil. Suaranya lama-lama hilang ditelan pintu ruangan sebelah. Tidak lama kemudian ada suara-suara gaduh yang membuat jantung berdetak cepat.
”jlebbbb!! Jlebb!!...(suara pisau beradu talenan)
Sementara makanan lain hanya tertunduk, lobak jadi terbelalak, cabe keriting jadi hening, terong hanya bengong, mentimun hanya melamun.
Dan koki, tentunya dia tersenyum.
”Bubur kentang, akan siap disajikan,... cuma buat kamu manis”
Si manis di dekat kaki koki hanya mengeong.
Astaga! Ternyata nasib atas status diri, kita tidak akan pernah tahu. Suatu saat mungkin kita akan menjadi sesuatu yang berstatus ”eksklusif.”
Atau di waktu yang lain, cuma jadi santapan kucing.
Hanya kita, koki dan Tuhan yang tahu.
Catatan kaki :
* meminjam istilah Bapak Marx
** idem
*** meminjam istilah sebuah kafe di Lembang
Komentar
Posting Komentar