Menolak Lupa Manfaat Hijau
Kisah eksploitasi kawasan di masa lampau. Menolak lupa agar kawasan “merah” kembali hijau.
Kota ngarai Chaco terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Colorado, Amerika serikat. Pada kurun waktu antara 600 SM s.d 1200 M kota Chaco adalah kota urban yang menjadi magnet bagi para pendatang. Di puncak kejayaannya, kota Chaco banyak membangun fasilitas fisik untuk para penduduk yang terus bertambah. Bahkan penguasa Chaco membuat bangunan yang disebut Pueblo Bonito yang terdiri dari 600 kamar dan setinggi 30 kaki. Untuk memenuhi kebutuhan air, Pemerintah kota (Pemkot) Chaco membuat bendungan yang terletak di atas tebing untuk menampung air hujan.
Namun malapetaka terjadi. Pada tahun 1130 M terjadi musim kemarau hebat. Walaupun penduduk Chaco sudah terbiasa dengan iklim ekstrim, keadaan di tahun itu terasa berat. Kemarau yang berlangsung selama 150 tahun membuat kota ngarai Chaco menemui ajalnya. Kota Chaco mulai ditinggalkan. Beberapa penduduk yang merupakan generasi terakhir kota berpencar menemui tempat yang lebih baik. Keturunan Chaco inilah yang di zaman modern disebut dengan masyarakat Pueblo. Suku yang mencuat adalah suku Anasazi. Saat ini mereka mendiami lembah Mesa Verde di Colorado, Amerika Serikat. Para ahli arkeologi memperkirakan penyebab keruntuhan peradaban Chaco bukan melulu kemarau. Faktor ledakan populasi dan eksploitasi alam berlebihan disinyalir menjadi penyebabnya.
Sungguh, hal yang sama dapat kita lihat di banyak kota di Indonesia. Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan lainnya. Kota besar masih menjadi magnet bagi penduduk di daerah sekitar untuk mengadu nasib. Pihak pemkot sendiri masih menerapkan kebijakan yang tidak konsisten. Ketika kota dituntut untuk mempunyai daya tahan kawasan, Pemkot malah mengizinkan bangunan yang tidak ramah lingkungan di kawasan yang tidak siap menjadi tampungan.
Sebelum masa Perang Dunia II, jauh sebelum wacana “kembali ke alam” digadang-gadang dewasa ini, Antone Gaudi I Conet (1852-1926), arsitek, telah merancang bangunan organik. Gereja Sagrada familia, salah satunya. Bangunan ini terletak di kota Barcelona. Memakai bentuk sulur, bulat, acak, mengoptimalkan bukaan, adalah pola alam yang selalu menjadi tema Gaudi dalam perancangannya. Hal ini membentuk identitas kota Barcelona yang unik dan berdampak positif bagi perkembangan bisnis.
Tidak bisa dibantah, bisnis dan alam selalu bersinggungan. Lalu, apa yang seharusnya terjadi? “Aktivitas manusia adalah kuncinya. Dulu orang yang bersepeda dianggap paria (nama kasta di India yang merujuk kepada orang miskin). Sekarang, yang bersepeda justru mempunyai privilege yang bagus,” kata Bintang Nugroho, deputi bidang organisasi dan event GBCI. “Generasi sekarang akan protes terhadap kondisi sekarang dan itu alamiah,” katanya.
Kelak, akan berkembang budaya hijau, mengubah dari the have dan the have not menjadi the green and the green not. Produk yang beredar tidak asal murah dan laku, hijaulah yang dianggap layak dijajakan. “Budaya hijau berarti menyebarkan ilmu pengetahuan tentang lingkungan yang berkelanjutan, kemampuan untuk mengolah, dan sikap untuk menyebarkan hijau itu sendiri. Misalnya dengan membangun bangunan hijau dan menggunakan produk daur ulang,” tutur Bintang. Dari budaya tersebut diharapkan akan muncul insentif bagi generasi masa depan : nilai ekonomi, peningkatan status sosial, dan pencitraan positif. Menolak lupa agar anak cucu kita kelak tetap melakukan ritual mendoakan moyangnya karena mewariskan ekologi yang sehat.
(*) Disarikan dari wawancara dengan Bintang Nugroho, deputi bidang organisasi dan event GBCI di acara persiapan Expo “Adapt to Sustain”.
Komentar
Posting Komentar