Kartun dan Tren Peristiwa Itu

 .

Kartun yang saya buat tanggal 10 Oktober 2023

.


15 Oktober 2023

.

20 Oktober 2023 


8 Oktober 2023

Saya nggak akan membahas sejarah kartun. Banyak yang lebih ahli, “Mbah Gugel”, contohnya. Yang jelas, bikin kartun itu asyik! Gimana nggak, bikin kartun itu kesannya bisa seenak udel menggambarnya : Bikin orang berkepala besar, kendaraan bisa ngomong, pokoknya, bisa nggambar “berlebihan”.

Tapi….lebay yang positif, ya…

Konteks: perlawanan Palestina 

,
Komik “jurnalistik” tentang Gaza karya Joe Sacco
Komik yang detail banget!

Soal sejarah perlawanan Palestina, ngga usah dibahas, yaa..Tapi yang menarik, pasca 9/11, marak muncul narasi tentang “teroris”, dimunculkan oleh media massa, yang stereotip nya adalah orang “Arab”. Tentang media massa perlu dibahas tersendiri, kaitannya sama booming internet awal 2000-an. Sekadar info, sebelum tahun 2000, narasi teroris di media massa (cetak) atau budaya pop (film) bervariasi. Mulai dari orang Jerman Timur (Die Hard), orang Irlandia (Blown Away), Red Army dari Jepang, Baader Meinhoff dari Jerman, atau orang Venezuela (Carlos The Jackal). 
.
Nah, mulai dekade 2000-an, pemberitaan dunia dipenuhi oleh perang teluk ke-2. Setelah itu Afghanistan (2006-2021) , lanjut ke ISIS (2012-?). Hampir semua berita tokoh antagonisnya adalah orang “Arab”. Lagian stereotip nya pake jurus “gebyah Uyah”, Afghanistan disebut Arab juga. Padahal ‘kan etniknya Pushtun dan Khazari. Karakter antagonis versi barat, seperti Saddam Hussein dan Moammar Gaddafi, diekspos habis-habis an. 

Pembaca berita (teks) pelan-pelan kehilangan sosok editor yang seharusnya menjadi penyaring ketika media beralih ke daring (online). Selanjutnya, cuitan Twitter, video viral, atau tagar menjadi populer dan dijadikan “berita” oleh Netizen. Boro-boro menerapkan “elemen jurnalistik” ala Bill Kovach, yang salah satunya adalah disiplin verifikasi. Yang terjadi adalah bertebaran narasi propaganda.

Tapi ‘kan kita perlu informasi yang bernas. Kalau narasi teks sudah kurang valid, apa pilihan kita? Jawabannya adalah lewat komik, kartun, atau karya sastra. Yang menarik dari media visual/sastra adalah adanya ruang interpretasi yang melibatkan olah logika dan rasa. Sehingga muncul pertanyaan: Apakah benar kejadian ini? Kok, bisa terjadi? Penyebabnya apa? Siapa pelaku? Dan lainnya. 

Urusan puisi, Palestina, punya tokoh semacam Mahmoud Darwish yang berjuang lewat puisi. Kekhasan karya dari orang Palestina adalah “melawan penindasan”. Ciri karya seperti sudah menunjukkan di posisi mana Palestina itu sendiri. 

Kartun. 
Kartunis, pembuatnya, ibarat spons yang menyerap informasi, pengalaman, untuk kemudian dituang ke dalam gambar. Karakter kartun yang langsung bisa diinterpretasi pembaca, menarik para jurnalis untuk menggarapnya. Kalau di Indonesia ada koran Pos Kota. Di luar negeri ada majalah mingguan “Charlie Hebdo” dari Perancis, misalnya.

Faktor konsep sosial-budaya di negara tertentu berpengaruh terhadap karya kartun. Contohnya kasus majalah “Charlie Hebdo”, di Perancis, digugat oleh lembaga muslim karena membuat kartun Nabi Muhammad SAW, tahun 2006. Kenapa jadi urusan konsep sosial-budaya? Majalah yang muncul di akhir 60-an ini, awalnya membawa semangat egalitarian kaum muda tahun 60-an. Konsep “egalite” yang mungkin klop untuk konteks waktu itu, tapi jadi bumerang ketika populasi “Arab” di Perancis meningkat sejak tahun 2000-an. Akhirnya jadi gini:


Ssumber :Wikipedia. Tangkap layar pukul 08..30 WIB, 17 Nov. 2023

Kartun bisa jadi pelengkap berita. Visualisasi nya yang seringkali naif terasa menyenangkan. Tapi kartun Charlie Hebdo diatas nggak membuat senang beberapa orang. Kebetulan yang nggak senang tak segan memakai cara kekerasan lagi. Ada yang terlewatkan dari kartunis nya: riset budaya. Dalam sejarah seni rupa Islam sebagian besar sosok nabi memang tak boleh digambarkan. Beda dengan budaya religi lain.

Palestina punya kartunis bernama Naji Al Ali. Kartun ikonik nya bernama Handala


Sayangnya, Naji Ali ditembak, meninggal pada tahun 1987. 

Bahkan kartunis pun tak luput dari bahaya, ya? Kalau “Charlie Hebdo” ditembak karena menjadikan tokoh panutan jadi bahan olokan, kalau Naji Ali ditembak karena melawan penindasan. 

Kejadian 07 Oktober 2023, adalah peristiwa menarik, karena jadi ajang kampanye pihak-pihak terkait lewat berita dan media sosial dan.. kartun. Tapi narasi global tak berimbang. Cenderung berpihak ke penindas.

Buat saya, segala topan informasi menjadi pemicu untuk bermain perasaan (cieh). Dimulai dari pertanyaan: “Emang gimana sih akar masalahnya?” Kenapa polanya sama dengan dua dekade lalu, ketika awal tahun 2000-an, semua teroris adalah orang “Arab”. Emang bener gitu? Istilah teroris sendiri jadi mode gampangan buat dilabelkan oleh pihak tertentu. 

Sampai akhirnya keluar kartun ini:

Tangkapan layar dari Google, 17 November 2023. Karya kartun tak diketahui


Kartun diatas pernah diretweet Pak Piers Morgan, jurnalis, dan dari yang saya tangkap, karena kartun ini, Pak Piers yang awalnya pro-barat banget jadi mulai merasakan “masalahnya” bukan di 07 Oktober 2023 saja. Karena.. “Kejadian 07 okt tidak muncul dari ruang hampa”, mengutip ucapan Pak Antonio Guterres, sekjen PBB. 

Kartun diatas ibarat opini (pendapat kartunisnya) yang merangkum peristiwa dan dirasa-rasa emang ada kejanggalan di situasi itu yang nggak menguntungkan pihak yang tertindas. Dan dirasa-rasa, kartun diatas emang bener!

Media massa (barat) udah mirip “pengadilan” dan “panggung” pertunjukan: Dunia barat adalah pahlawan.
Generasi yang lahir awal 2000-an, sudah kadung dijejali narasi dari media (online) tentang karakter “Heroes & villains”. Lagi-lagi, barat adalah “hero”. Logika kayak gini bisa diimbangi dengan berita kartun yang “ngerasani”. 

Peristiwa perlawanan ngga ada yang murni Zero sum game. Seolah-olah pihak pemenang/dominan bisa mendapat keuntungan bersih. 

Dengan logika yang dipaksa media besar sekarang, Iya. 

Dengan kartun, tidak! 


Jakarta 17 November 2023

#mugibagja #cartoon #graphicrecording #kartun #freepalestine #gaza 








Komentar

Most Popular