[Residensi] Rereongan Sarupa : Menafsir Desa Wangunsari
“Djaleuleuuuudja…”
Konon, nenek moyang orang Sunda adalah pehuma, begitu kata Pak Jakob Soemardjo, budayawan. Kultur pehuma (peladang) menurutnya adalah: egaliter, hirarki tata kelola yang tak terlalu ketat, dan …humoris. Apa hubungannya humoris dan ladang?
“Tulak Tuja Eman…gog”
Jawa Barat kesuburannya merata. Barangkali, karena ada 32 gunung di provinsi ini. Tanah rasa vulkanik. Lirik “Tongkat kayu ditancap jadi tanaman” membuat orang Sunda lebih “selow”. Suasana minim represif yang melahirkan cerita jenaka pengisi waktu. Terasa pada penokohan, pemimpin atau “Inohong”, yang lebih menonjolkan kebajikan dari sudut pandang warga biasa. Karakter Kabayan, salah satunya.
“Seureuh Leuweung Bay…”
Pada masa kiwari, karakter Kabayan diperlukan. Sosok mirip Abu Nawas atau Nasruddin Khoja, yang perilakunya “ajaib”, kocak, sering menyindir penguasa, tapi “ benerrr juga”. Mang Kabayan yang fiktif bisa melengkapi penceritaan dari sosok Bujangga Manik, tokoh nyata pengembara Sunda, yang pada abad ke-14, sudah keliling pulau Jawa dan Bali. Bisa jadi, bepergian nya naik “travel” kuda masa itu…hihahhh ketoplak!
“Jambe Kolot…Bug”
Peninggalan nenek moyang Sunda, masih terasa di Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Mulai dari mata air Ciseke, sampai pagelaran Hajat Buruan. Namun, gempuran “over tourism”, ke Lembang, membawa perilaku konsumtif. Simbol kemewahan berupa kendaraan mahal yang wara-wiri di jalan desa melahirkan benturan budaya karena “stereotyping” orang kota-orang desa. Apalagi pembabatan lahan hijau, penjualan tanah desa, menjadi tantangan masa kini. Hal ini berkelindan dengan anggapan pendatang, yang mengaku “orang kota”, yang menganggap orang desa itu “lebih rendah”.
“Ucing Katinggang songsong..ngek-ngek”
Studio #mugibagja, merancang kegiatan “Residensi” kecil-kecilan bertajuk “Rereongan Sarupa”. Berlangsung dari 12 Agustus - 12 September 2024.
Rereongan itu artinya bersama-sama, sarupa itu satu frekuensi, kata anak masa kini mah. Kolaborator yang terlibat adalah Rifki, Luki, dibantu Asep dan Dahlia. Mereka mencoba membuat penceritaan tentang desa. melalui visual, teks, dan audio-visual, berdasar data. Bercerita dengan awalan pertanyaan: Apakah kesuburan di desa masih ada? Apakah kebajikan dan keselowan masih terasa? Apa kabar budaya/tradisi? Apa, sih, yang disebut budaya kekinian? Apakah ada konflik yang terjadi?
Program Residensi ini hanya menafsir. Seperti lirik kakawihan “Djaleleudja” yang berarti mengajak bermain-main.
Rereongan ini belum memberi jawaban. Tapi, barangkali bisa jadi pertimbangan buat orang-orang yang belum peka, bahwa membawa mobil “Alphard” lewat jalan desa itu adalah otomatisasi bentuk semiotika “pamer” terselubung. “Emang ngga boleh bawa Alphard?” Boleeehh aja. Tapi, ini kisah nyata: saya menyaksikan sendiri pemilik mobil ini menghalangi pemotor desa atau pekebun, yang mau lewat.
Perilaku kecil yang bisa jadi “bom waktu” konflik sosial di daerah ini.
Selamat menikmati :)
Jakarta, 13 Agustus 2024
#tokoskow #wangunsari #graphicrecording #sketsa #lembang #bandung
Komentar
Posting Komentar