Antara Dead Poets SOCIETY dan LBH BWCC. A Graphic Record
Laman BWCC, klik di sini
Kak Diah, BWCC
Siapkan donasi dan dapatkan pengalaman menginap tak terlupakan.
Seruput Kopi Bali di warung BWCC
Prestasi dari tokoh BWCC, Ni Nengah Budawati
Warung dan bale
Pemandangan dari Home Stay
Kak Diah
Walaupun diusir dari kelas, Pak Keating, guru Bahasa Inggris, tersenyum. “Oi Captain, My Captain!” kata para siswanya, mengucapkan hormat sekaligus perpisahan. Pak guru itu pamit. Ikhlas. Walaupun jadi kambing hitam di sekolah elit ternama. Sekolah Welton, namanya. Tenang, adegan ini cuma ada di film “Dead Poet SOCIETY” (1989) karya Peter Weir.
Sekolah elit Welton di film itu ekosistem rigid. Sekolah persiapan penghasil orang pintar di negeri Paman Sam. Konteks orang pintar disono adalah: calon insinyur, dokter, atau hukum. Buku ajar tebal jadi hafalan. Para siswa harus manut. Siap grak! Segala sesuatu yang diluar “textbook” dilarang. Jangan coba-coba jadi kreatif! Semacam jadi seniman atau sastrawan..itu dianggap tidak menghasilkan (uang).
Semua berubah ketika Pak Keating datang sebagai guru baru.
Pak guru yang kreatif ini mendorong para siswa buat “berpikir” bebas dan bertanggung jawab. “Carpe Diem! Seize the Day! Raihlah kesempatan untuk jadi dirimu sendiri!”, katanya. Para siswa belajar berani mengungkapkan pemikirannya. Kalau perlu, buku ajar kaku dirobek saja. Itulah filosofi Dead Poets SOCIETY.
Begitupun Bali Women Crisis Centre (BWCC) di Tabanan.
Bali, pulau indah dan tujuan para wisatawan. Elit. Sekian. Tapi…..dibalik semua itu, ada hal yang masih luput dari perhatian : Perempuan Bali dan keadilan. Setidaknya, itulah visi misi yang ditulis di laman web BWCC.
Dengan label “Pulau Dewata penghasil devisa”, seolah ada tuntutan menghasilkan “orang pintar” dalam urusan pariwisata. Semacam pembuat hotel, resort, atau berbagai produk. Semakin banyak, semakin bagus. Namun, daya dukung lingkungan tak bisa secepat membangun hotel. Ada krisis di situ. Contohnya, krisis air bersih. Balipost (Des 2024) bercerita tentang krisis air bersih di sini
Yang paling terdampak Dari krisis air saja, adalah perempuan dan anak. Apalagi dengan kultur Bali yang mengedepankan laki-laki. Yang terjadi? KDRT! Artikel tentang data KDRT, berdasar tulisan Balebengong (Feb 2025) bisa dilihat di ini
Miris, ya? Itulah kenyataan.
Kehadiran BWCC ibarat “Dead Poets SOCIETY” di sekolah elit Welton. Para pegiat BWCC berusaha mewujudkan hukum positif dan adat yang berkeadilan gender, dengan cara kreatif. Rumah singgah kubu WCC di desa Penatahan, Penebel, Tabanan, ini misalnya.
Dirancang oleh arsitek asli Bali. Bangunan ini terletak di tengah sawah. Pengunjung bisa sekadar singgah, mendengar gemercik air subak, sambil menyeruput Kopi Bali dan kudapan. Para wisatawan, bisa juga menginap disini. Sistemnya donasi. “Dan kalau bisa yang sudah saling mengenal”, kata Kak Diah, pegiat BWCC. Kak Diah juga mengatakan tentang dukungan Kak Ririn terhadap BWCC.
Kak Diah dkk. Mendorong para perempuan supaya ngga “cape diem” tapi “Carpe Diem!” ..raihlah kesempatanmu! Seperti ucapan Pak guru Keating dari Dead Poets SOCIETY. Contoh kerja kreatif mereka ada di sini
Tabanan, 5 Agustus 2025
Terima kasih buat Ririn dan Laras
#mugibagja #bali #bwccbali #graphicrecorder #graphicrecording #deadpoetssociety #tabanan #luvesketching #sketsawajah3menit
Komentar
Posting Komentar