Cerita Dapur Umum di Palu : Tidak Ada Mie Instan Hari Ini.

.
Lagu pop dari speaker laptop mengalun senyap di ruangan itu. Para peserta diskusi sudah pulang. Kami membereskan gelas, piring, asbak penuh, dan ceceran biji kopi di atas meja kayu kedai Fabula, kota Palu, sambil mengobrol. "Gedubrak!" Tetiba ada suara benda jatuh, "ada gempa lagi??"
.
Ternyata bukan. Saya tak sengaja menekan ujung meja pingpong sampai terangkat. Lalu jatuh. Suara tadi setidaknya membuat mata tidak mengantuk. Sambil asyik menyimak kisah dari Sisilia Laborahima (Sisi), "koki" dapur umum SKP HAM Palu. Dapur umum ini berbagi tempat yang sama dengan kedai Fabula. Dan ada 2 nama yang sering disebut Sisi di kisahnya : Nurlaela Lamasitudju dan Rohmat Yani Ahmad. Begini ceritanya.
.
"Saya ingat bagaimana kacaunya suasana hari itu (28 September 2018). Setelah gempa di hari pertama, saya bingung mau ngapain. Sampai saya berhasil mengontak Kak Nurlaela (Ela) Lamasitudju. Dari hasil obrolan singkat tercetuslah ide membuat dapur umum. Pada bulan pertama pasca gempa, kami bisa memasak untuk kurang lebih 1000 orang. Urusan belanja logistik dibantu Rohmat," kata Sisi.
.
Omong-omong, Nurlaela Lamasitudju (Kak Ela) adalah pemilik tempat yang bernama SKP HAM di Palu. Bersama M. Syafari Firdaus, sang suami, Kak Ela membuka kedai kopi bernama "Fabula." Tempat ini sudah selayaknya disebut tempat serbaguna. Hampir setiap saat ada acara disini. Dari acara diskusi padat dan berat bertema sosial dan budaya atau sekadar mengobrol tentang kopi. Keseharian kedai kopi dibantu oleh Rohmat, barista sekaligus penyair berbakat.
.
Perkara kesehatan memang diperhatikan betul oleh Sisi. Sebisa mungkin tak ada vetsin. Bahan dasar masakan terbuat dari bahan segar. Semua harus dipotong malam sebelumnya: tomat, bawang, cabe, seledri dan bawang daun. "Karena kalau menyiapkan bahan dasar pagi hari, waktu memasak jadi kepotong. Dan walaupun menghadapi kondisi darurat sebisa mungkin tidak memakan mie instant. Penyintas harus dapat makanan sehat," katanya.
.
Ada teman yang bilang, rasa dari makanan (tanpa vetsin) adalah media terbaik untuk menyimpan memori. Itu ada benarnya. "Suatu hari kami kedatangan pasutri dan anaknya yang masih balita. Mereka sudah 2 hari belum makan. Sontak saja kami mengeluarkan apa yang kami punya : susu, makanan berat/ringan, dan minuman. Sebelum pergi, mereka mencicipi dulu ayam goreng tepung yang baru matang. Setelah makan mereka mencium tangan saya sambil menangis." Betapa 2 hari tidak makan membuat lupa rasa masakan rumahan. Sungguh berat. Apalagi buat anak mereka. "Sejak momen itu, kami semakin memantapkan diri. bahwa dapur umum ini memang sudah jalan kami; untuk kami bertahan dan membantu orang lain bertahan hidup," kata Sisi dan Rohmat.
.
Seperti penyintas lainnya, Sisi dan Rohmat mempunyai memori yang tak ingin mereka ingat terlalu detail di awal kejadian gempa. Seperti pengalaman Rohmat menyusuri jalanan Palu untuk mencari bahan makanan dengan kondisi kota yang porak poranda. Menyusuri jalanan pinggir pantai dekat kompleks Universitas Tadulako, kantor gubernuran, sampai jalan Basuki Rachmat sambil melihat pemandangan jenazah yang belum dievakuasi. Atau tentang malam pekat tanpa listrik dengan suara ratapan minta tolong dari kejauhan. "Membuat bulu kuduk merinding," kata Rohmat sambil mengisap rokoknya.
.
Yang mengagumkan adalah intensitas mereka dalam mengelola dapur umum ini. Kerja kolektif yang berlangsung konstan. Dari tenaga dapur yang awalnya cuma bertiga sampai akhirnya dibantu tenaga tambahan relawan mahasiswa/i dari Universitas Tadulako. Pembagian tugaspun dilakukan. Mulai dari memotong bahan, menanak nasi, mengolah bumbu, mencuci piring, menggoreng, membakar, belanja ke pasar, dan membersihkan ruangan. Entah bagaimana menjelaskan sistem kerjanya. Ada sesuatu yang emang udah dari sononya mengalir begitu saja. Tidak sekadar persamaan nasib tapi juga kemanusiaan. Manusia yang mempunyai panca indera. Indera pengecap, salah satunya. Mengecap rasa masakan; mengobati rasa ketakutan.
.
16 Desember 2018
(Bersambung)


Komentar

Most Popular