Kabayan Saba Sumbawa (1)





Sambil ngadem, sketsa dulu, yo!





Sarana transportasi dari dan ke desa Parado. 

primadona desa Parado. Saya ngarang ngasih nama ke mereka: dari kiri ke kanan, Etty, Euis, Asep, dan Mukhlis. 

Rumah Jati yang sudah berusia 50 tahun. Gokils!

"Makanya ulah lalawora (sembarangan) kalau bepergian. Masuk angin, kan?" Begitu kata saya sama diri saya sendiri. Hal ini berkaitan dengan insiden kentut melulu di pesawat dengan saya sebagai pelaku utamanya. Untung tidak menimbulkan kegaduhan dan kebauan. 
.
Waktu itu (2017) dapat tugas #graphicrecording dan #livesketching ke Sumbawa. Merekam dengan gambar, evaluasi programnya #surfaid di beberapa desa di luar kota Bima. Dikasih waktu seminggu memang ngga kerasa. Begini kisahnya. 
.
Hari pertama, kami menginap dulu di kota Bima. Dapat hotel yang "paling penting bersih" (itu kata Ira Rambe, orang yang ngajak saya kesini). Berhubung saya bakal gambar manual, bawaannya emang banyak. Begini isi ransel saya : buku sketsa A3, buku sketsa A4, spidol 4 boks, krayon 1 boks, air minum, cemilan, buku, dan tabung gambar (diluar ransel). 
.
Besoknya kami jalan menuju desa Parado. Sebelum ke luar kota, kami singgah dulu di arena balapan kuda. Warga lokal menyebutnya "maen jaran". Yang jadi joki anak kecil atau remaja. Konon berat badan mereka yang masih ringan bikin kudanya bisa melaju "wushhhh" sangat cepat. Sang joki dilengkapi dengan peralatan ini : tali cambuk (rotan), ketopong (sarung kepala sebelum helem)..malah ada yang nggak pakai helm sama sekali, dan rompi urutan nomor. 
.
Sehabis menonton balap kuda, kami melanjutkan perjalanan ke desa Parado. Jaraknya sekitar 2 jam. Mobilnya menyewa dari komunitas penyewa mobil keturunan arab bermarga "Alkatiri". Ngga seperti di pulau Jawa. Kontur jalan disini relatif datar-datar saja. Tetap aja ada kelokan yang mengocok perut. Pemandangannya beranekaragam:  sawah, padang rumput, bukit, laut, pasar, dan pemukiman. 
.
30 menit sebelum memasuki desa, kami berhenti di kantor Balai Desa. Rencananya bakal membuat sesi wawancara pendahuluan dengan kepala desa setempat. Tak lupa bakal direkam dengan gambar. Agenda yang lain adalah meminta izin untuk meminjam kendaraan yang layak. Karena medan menuju pedalaman, jalanannya belum beraspal, berkelok, dan sepi dari pemukiman. Walhasil kami mendapatkan kendaraan yang diminta: sebuah Ambulans! Okedeh. 
.
Baru kali ini saya naik Ambulans. Sepanjang jalan oleng kesana kemari. "Pegangan..mana pegangan?" Ada salah seorang anggota tim yang nggak kuat naik mobil, harus rela naik motor. turun dari mobil, pantat serasa "baal". Tapi, semuanya terbayar dengan makan siang menuju sore, dengan menu pilihan : Ikan, ayam dengan sambal khas lokal bernama "mbohi dunga". Semacam jeruk yang difermentasi. Mirip-mirip wasabi dengan versi lokal. 

Rumah tempat kami bertamu adalah rumah tua. Usianya sudah 50 tahun. Materialnya terbuat dari kayu jati. Jati memang tanaman yang masih banyak dijumpai di desa ini. Konon sebelum membangun rumah, para tukang kayu disini membaca lagu khusus. Katanya, sih, ini lagu syukuran. Biar pekerjaannya lancar. Ada macam-macam servis yang ditawarkan tukang kayu disini. Rujukannya adalah jumlah tiang. Mau yang tiangnya 6, 8, atau 12? Semua ujung-ujungnya bakal ngaruh ke estimasi biaya. 
.
(bersambung)
.
#graphicrecording #graphicrecorder #GraphicRecorder #GraphicRecording #illustration #ilustrasi #livedrawing #livesketching #travel #journey #mugibagja #graphicrecorderindonesia. 

Komentar

Most Popular