Indah Nian, Mbaru Niang - Waerebo

 “Nafas saya, nafas saya!” 

Saya baru saja terduduk di “natas” atau halaman kampung Waerebo. Kaospun penuh keringat. Seorang Bapak menghampiri kami “Kita bertemu tetua dulu” katanya.

Waerebo memang lanskap yang terdiri dari tetua yang sekaligus ahli patah tulang, para bocah yang asyik bercengkrama, para bapak dan mama yang takzim membuat kopi dan menenun, dan kami disambut di “Mbaru Niang”, rumah kerucut beratap daun lontar, berlantai 5, dan kepulan asap dari kayu bakar. Tradisi ratusan tahun.

Apakah arti perjalanan ke Waerebo? Tentu saja istimewa! Buat saya, Andi, Dewi, dan Rico, ini adalah perjalanan spontan yang cukup sukses. 4 jam sebelumnya memang melelahkan. Kami berjalan kaki, melewati jalan batu menanjak, agak licin, ditemani pacet yang nempel disana sini. Maklum, Februari masih musim hujan. 

Perbedaan tarikan nafas jadi penanda derajat kebugaran seseorang. Dan saya di urutan terendah. Haha. Untung kami sempat minum ramuan kayumanis dan bratawali, di Kekarejo, 5 jam sebelumnya. Semua cape hilang ketika melihat rumah beratap kerucut dari kejauhan dan saya sat-set menyiapkan spidol untuk membuat sketsa. 

Dan kami, di musim hujan itu, merelakan sepatu butut tergores batu kadang mendengar cerita Rico tentang betapa payahnya stamina “orang kota”. Tapi akhirnya semua orang gembira, berfoto, posting, dan bersahabat. 

Februari 2023 

#mugibagja #livesketching #waerebo #flores #graphicrecording 

.











Komentar

Most Popular