Rumah Ekologi
Rumah adat Sasak
(Foto: Koleksi pribadi)
Rumah Desa Parado, Sumbawa
(Foto : Koleksi Pribadi)
Rumah “Mbaru Niang”
Waerebo, Flores
Rumah modern di Bandung
Penggunaan lampu panil surya
Menghemat listrik, menyala di trotoar gelap
Rumah Ekologi --> (sepertinya) rumah tahan gempa
"Konon pada tahun 70-an ada turis Jerman yang lapar terus mencari makanan kesini. Karena takjub dengan filosofi lingkungannya diapun menceritakan tempat ini ke banyak orang. Itulah awal mula Kampung Sada jadi dikenal orang," kata Ama Fani, penduduk Kampung Sada, Lombok. Obrolan ini direkam penulis ketika melakukan perjalanan singkat ke pulau Sumbawa dan Lombok, beberapa bulan lalu. Kalau diamati secara singkat, Kampung Sada termasuk contoh lingkungan "ekologi." Istilah "ekologi" sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Pak Ernst Haeckel (1869) sebagai ilmu interaksi antara segala jenis makhluk hidup dan lingkungannya ("Dasar-dasar Arsitektur," Hanz Frick dan FX Bambang Sukiyatno.)
Kok, bisa jadi ekologi? Contohnya bisa dilihat dari teknik bangunan. Rumah suku Sasak di desa Sada mengambil bentuk gunung. Rumah panggung yang beratap menguncup. Komposisi bangunan kampung terdiri dari : lumbung, bale, masjid, dan rumah penduduk. Material yang digunakan menyesuaikan dengan lingkungan : dinding bambu, atap dari alang-alang, ikatan struktur dari daun nira, dan lantai dari kotoran sapi (yang sudah dikeringkan.) Beberapa rumah konon ada yang sudah berusia lebih dari 50 tahun.
Bentuk rumah panggung yang relatif sama ada di desa Parado, Sumbawa. Bahannya dari kayu jati. Bahan ini banyak ditemukan di daerah Sumbawa besar. Tukang kayu asal Sumbawa punya mantera ketika membangun rumah : "Ntaka Haju jati" yang kurleb artinya "pujian terhadap ketahan an kayu jati." Proses pembuatan tergantung "rekues" jumlah tiang. Makin banyak tiang, makin mahal biayanya.
Beberapa kesamaan ditemukan di rumah adat suku Tapanuli "Sopo Bolon." Sopo artinya lumbung, bolon artinya 12 (merujuk pada jumlah tiang.) Misalnya dari pemilihan bahan. Atap Sopo Bolon menggunakan ijuk berangka rotan. Kedua material ini banyak ditemukan di daerah Sumatera Utara. Yang membedakan dari segi ornamen. Suku Tapanuli mempercayai cecak sebagai hewan penjaga rumah (boraspati) sehingga pola ini banyak ditemukan di rumah tradisional daerah ini.
Proses pembuatan rumah tradisional diwariskan secara turun temurun. Sudah teruji melalui berbagai macam peristiwa. Baik disebabkan oleh alam ataupun manusia. Meminjam istilah Pak Hanz Frick, sudah melalui "suksesi ekologi,"
Gempa, salah satunya.
Ketika bumi bergetar struktur alami rumah tradisional yang ringan meminimalisir kerusakan. Tidak melawan tapi mengikuti ritme getaran. Pun ketika ada rumah tradisional yang rusak, penduduk bisa langsung memperbaiki dengan bahan yang ada di lingkungannya. Dari pengamatan sekilas, bahan alam tampaknya masih banyak tersedia. Yang saya belum tahu adalah apakah konsep rumah tradisional bisa jadi solusi antisipatif dalam menghadapi kondisi bencana gempa? Wallahu alam.
Konsep tradisional bisa juga dipadu padankan dengan modern. Istilahnya “vernakular”
Desain rumah vernakular menyesuaikan dengan lokasi. Bila ada rumah bertempat di pinggir jalan raya biasanya menghadapi masalah polusi dan keamanan. Solusinya bisa meminjam filosofi rumah adat pada umumnya: usahakan membuat “tepas” (halaman depan) dan menggunakan energi terbarukan.
Terima kasih buat Mbak Meili Riosa dan Ira Rambe yang sudah mengundang ke Lombok dan Sumbawa.
Semoga bermanfaat
Lombok
Ahad, 19 Agustus 2018.
#drawing #graphicrecording #Lombok #arsitektur #graphicrecorderindonesia #mugibagja #graphicrecorder #livesketching
Komentar
Posting Komentar